Asal-Usul Lontong Balap, Kuliner Legendaris Surabaya yang Berakar dari Sidoarjo

  • Administrator
  • Senin, 08 September 2025 12:41
  • 4 Lihat
  • Pemerintahan

SIDOARJO – Lontong balap dikenal luas sebagai kuliner khas Surabaya. Namun, di balik popularitasnya, hidangan ini ternyata memiliki jejak sejarah yang erat dengan Sidoarjo, bukan Wonokromo seperti yang selama ini dipercaya. Menurut pegiat sejarah sekaligus Ketua Komunitas Sidoarjo Masa Kuno, dr. Sudi Harjanto, nama asli hidangan ini adalah “Lontong Cukulan”, dengan kisah perjalanan yang menarik untuk ditelusuri.

Lontong balap diyakini mulai hadir pada awal abad ke-20, sekitar tahun 1900-an. Nama “cukulan” sendiri merujuk pada kecambah kacang hijau yang menjadi bahan utama. Pada masa itu, kacang hijau banyak ditanam di Sidoarjo dan mudah diolah menjadi taoge. Para penjual lontong balap biasanya membuat taoge sendiri dengan cara merendam kacang hijau yang cepat tumbuh di iklim hangat Sidoarjo.

Menurut dr. Sudi, lontong balap merupakan hasil akulturasi budaya Tionghoa dengan kuliner lokal. Penggunaan bumbu khas Sidoarjo, seperti petis kepala dan kulit udang, menjadikannya berbeda dengan hidangan berkuah sejenis. Meski kemudian identik dengan Wonokromo, Surabaya—karena daerah itu menjadi pusat penyebarannya—banyak pedagang lontong balap generasi awal berasal dari kawasan Sepanjang, Sidoarjo (kini Kecamatan Taman).

“Awalnya lontong balap dijajakan di Sepanjang, lalu para pedagang berjalan kaki menyusuri rel kereta api menuju Wonokromo sambil memikul dagangan. Karena pikulan yang berat, mereka sering bergegas seperti orang balapan. Dari situlah istilah ‘lontong balap’ muncul,” jelas dr. Sudi, yang juga hobi mengoleksi skuter klasik.

Selain lontong dan taoge, keunikan lontong balap juga terletak pada sate kerang yang dulu mudah ditemukan di Sidoarjo. Kerang dipilih karena murah dan melimpah pada masa itu, sehingga menjadi bagian tak terpisahkan dari hidangan ini.

Dalam satu porsi lontong balap, biasanya terdapat lontong, taoge, tahu, lentho yang dihancurkan, serta tambahan sate kerang, disiram kuah gurih yang kental. Dari segi penyajian, hidangan ini sebenarnya masuk dalam kategori soto—warisan budaya Tionghoa yang berkembang dengan sentuhan lokal. Dari sana pula lahir kuliner lain seperti tahu campur, lontong mie, dan lontong kupang.

Menurut dr. Sudi, lontong balap lahir dari kebutuhan ekonomi masyarakat bawah. Bahannya sederhana, mudah didapat, serta murah, sehingga dapat dinikmati oleh semua kalangan. Kini, hidangan ini telah menjadi ikon kuliner Surabaya dan dikenal luas hingga luar daerah.

Meski demikian, dr. Sudi bersama komunitasnya terus berupaya melestarikan pengetahuan tentang sejarah kuliner ini, agar generasi mendatang dapat memahami bahwa lontong balap bukan sekadar makanan. Lebih dari itu, ia adalah warisan budaya yang mencerminkan kreativitas dan adaptasi masyarakat masa lalu di Sidoarjo.

Komentar

0 Komentar

Hubungi Kami